Kamis, 30 Mei 2013

Petani Sulit Akses Modal, Jabar Akan Didirikan Bank Petani

SetaraNews.com - Sebentar lagi, Pemerintah Pusat akan mendirikan Bank Petani di Jawa Barat demi mendukung pembangunan pertanian yang berkelanjutan terutama dalam hal akses permodalan petani.

Selama ini, Indonesia dengan jumlah petani sekitar 60 persen yang notebene berdomisili di daerah perdesaan sangat membutuhkan kehadiran bank pertanian yang secara khusus melayani keperluan warga perdesaan dan petani.

Seperti dikutip dari kantor berita Antara pada Kamis (30/5), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar saat ini tengah mendorong pemerintah pusat agar mendirikan bank pertanian sebagai bentuk dukungan terhadap sektor tersebut karena selama ini pertanian menjadi salah satu andalan penggerak perekonomian di Jawa Barat. Hal ini diutarakan oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan "Bank tersebut dinilai sangat penting demi penguatan sektor yang menjadi andalan masyarakat. Sebagai usulan daerah, kami ingin segera mendirikan bank pertanian," katanya.

Saat ini, pelaku yang bergerak di sektor pertanian sulit mengakses kredit dari perbankan umum karena bunga yang diterapkan relatif tinggi sehingga sulit dijangkau para petani. “Tentu saja penerapan bunga tinggi tersebut tidak sejalan dengan resiko tinggi pelaku usaha pertanian. Sektor ini tergolong usaha paling beresiko dibandingkan sektor lain seperti perdagangan," tambahnya.

Sektor Pertanian Di Anak Tirikan

Perlu diketahui, bahwa tenaga kerja (manpower) pertanian sebagaimana dikonsepsikan oleh BPS, yaitu penduduk berumur 15 tahun atau lebih yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa dalam sektor pertanian. Secara keseluruhan berdasar data Sensus Pertanian 2003, jumlah mereka mencapai 83,6 juta orang. Tidak semua tenaga kerja tersebut bekerja, ada yang menganggur atau sedang mencari pekerjaan. Yang bekerja sebagai petani (bekerja sendiri) berjumlah 34,99 juta orang atau 60,34 % dari total tenaga kerja pertanian yang bekerja, sebagai buruh tani sebanyak 14,367 juta orang atau 24,77 %, dan sebagai buruh non pertanian sebanyak 8, 631 juta orang atau 14,88 % (Lokollo, Erna M dkk dalam Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan : Analisis Perbandingan antar Sensus Pertanian).

Menurut data yang Setara himpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam rentang kurun waktu 2003 hingga 2013 mencatat penurunan pekerja yang luar biasa di sektor pertanian. Pada Februari 2013 tercatat pekerja di sektor ini 39,96 juta orang, menurun 1,3 juta orang dibanding satu tahun sebelumnya (2012).

Setiap tahun, jumlah penduduk yang berprofesi di bidang pertanian terus menurun. Hal ini ditengarai oleh beberapa peneliti karena tingginya resiko yang mengintai para petani kita di segala sub sektor. Mulai dari akses permodalan, jaminan penyediaan sarana produksi, perlindungan harga dan distribusi, konversi lahan, anomali iklim, serangan dan deimunitas hama penyakit tanaman, hingga ke regulasi yang belum sepenuhnya mendorong petani ke arah kemandirian.

Pemberdayaan petani selama ini terperangkap secara teori dan praktek karena menggunakan paradigma yang sempit, dimana organisasi formal merupakan satu-satunya strategi. Pandangan ini lahir dari bangun Teori Organisasi (Organization Theory) yang ilmunya diturunkan dengan mempelajari organisasi bisnis modern industrial, dari organisasi-oranisasi petani yang berhasil di negara maju, serta organisasi petani di negara berkembang yang dibatasinya hanya pada yang kondisinya tergolong bagus (success story).

Dengan basis pendekatan ini, maka tak heran pendirian kelompok-kelompok petani yang telah mulai dijalankan semenjak tahun 1970-an sampai sekarang di Indonesia, sangat sedikit yang berjalan sesuai harapan. Demikian pula, analisis yang dilakukan kalangan akademisi tidak mampu menemukan akar permasalahannya, karena membatasi hanya pada kerangka fikir teori organisasi. Atau bahkan cenderung menjadi katalog berdebu di perpustakaan kampus.

Situasi ini,yang telah berlangsung selama berpuluh tahun diprediksi salah satu indikasinya adalah sulitnya para petani dalam mengakses modal usaha. Kesulitan tersebut tidak ditunjang oleh regulasi pemerintah yang memihak kaum agraris, hal ini terlihat dari kebijakan alokasi 20 persen keuangan sektor perbankan untuk pertanian, hanya mampu terserap sebanyak lima persen saja pada tahun 2012. Belum lagi, dua tahun yang akan datang Indonesia dihadapkan pada kompetisi internasional perdagangan global melalui kebijakan AFTA.

Petani Butuh Keseriusan Pemerintah dan Akademisi

Sekjen Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono meminta Kemenkeu bisa berpikir jangka panjang dan memberikan pemihakan kepada petani yang memasok kebutuhan pangan bangsa.

"Seharusnya Kemenkeu berpikir bagaimana agar bank pertanian menjadi solusi bagi petani dalam mengatasi permodalan, bukan sebaliknya hanya berorientasi keuntungan dan mengabaikan kepentingan petani," katanya menanggapi penolakan Sekjen Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badarudin terhadap gagasan pendirian bank pertanian yang secara khusus melayani kebutuhan petani tersebut.

Di tempat terpisah, Gubernur Jawa Barat meminta Pemerintah Pusat agar segera mendirikan Bank Petani khususnya di Jawa Barat sebagai pilot projectnya.

"Kami akan membuat kajian ilmiah yang melibatkan pakar pertanian dan ahli perundang-undangan. Di Vietnam kan juga sudah ada bank pertanian, lalu mengapa di kita juga tidak ada bank pertanian," katanya.

Ia menuturkan, keberadaan bank tersebut, juga akan mendorong industri pengolahan hasil pertanian karena lembaga tersebut dapat mencegah lonjakan atau merosotnya harga jual komiditi pertanian.

Perlu diketahui, bahwa sebenarnya konsep Bank Petani sudah digagas oleh seorang petani dari Sumatera, Masril Koto. Ia adalah pendiri Bank Tani atau Bank Petani dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro Agrobisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari Koto Tinggi, Baso, Agam, Sumatera Barat. Dia bersama teman petani lainnya merintis lembaga keuangan itu sejak tahun 2002, namun setelah empat tahun kemudian (2006) baru resmi didirikan setelah Masril dan kawan-kawan petaninya mendapatkan pelatihan keuangan dalam bentuk akuntansi sederhana dari Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (AFTA), Padang. Sistim bank yang didirikannya itu diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Nasional. Karena pengabdiannya itulah, ikut menghantarkan pria tersebut menjadi salah seorang pemenang Danamon Awards dan berbagai piagam penghargaan lainnya. (lihat profilnya disini).

Maukah Pemerintah dan kalangan akademisi belajar lebih peka dari petani seperti bapak Masril Koto ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar