Jumat, 06 September 2013

Sistem Pendidikan Indonesia: Mencetak Generasi Pelayan (2)

Sekolah selama ini hanya menjadi pelayan kapitalisme


(Ivan Ilich)


Sekolah tidak mengembangkan semangat belajar, menanamkan kecintaan kepada ilmu, atau mengajarkan keadilan. Sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat - selembar bukti untuk mendapakan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia..

Meminjam istilah Ignas Kleden(1988) semacam ‘klerikalisasi’. Istilah ini ingin menunjukan bahwa proses-proses pendidikan tidak mengarah pada pembentukan masyarakat terdidik yang dapat berperan secara produktif bagi perkembangan kehidupan peradaban bangsa, pendidikan lebih menjadi panggung penobatan gelar-gelar akademik. Pendidikan yang semestinya dapat membawa masyarakat untuk terus mentradisikan pola pikir yang jernih proporsional, dan mengedepankan nilai objektif, justru terjebak dalam simbolisme  gelar yang dangkal.

Sistem pendidikan saat ini lebih ke arah komersialisasi pendidikan, banyak sekali sekolah-sekolah unggulan baik yang berbasis negeri atau swasta mematok harga setinggi langit dengan alasan-alasan  yang beragam. Pendidikan menjadi komoditas yang ditawarkan kepada siswa (orang tua siswa) dengan berbagai variasi biaya. Pendidikan kategori “unggulan” biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak sekolah unggulan mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya ekstrakulikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak membebani orangtua siswa.

Bagi kalangan yang mempunyai ‘uang’ pas-pasan  tidak mampu untuk bersekolah di sekolah yang bertaraf unggulan atau sekolah yang memenuhi standar. Hanya karena biaya yang terlalu mahal, padahal sudah jelas bahwa seluruh masyarakat berhak mendapatkan pendidikan yang layak itu semua tercantum dalam UUD 1945, tetapi sayangnya itu semua hanya slogan.

Mereka yang tidak memiliki biaya cukup, bahkan sekolah semakin menjadi impian, dan akhirnya bagi  mereka yang  hanya memiliki kocek ala kadarnya, hanya bisa menikmati pendidikan yang ala kadarnya pula.

Ditambah lagi dengan peran media si ‘kotak ajaib’ itu yang terus menonton kan atau mencontohkan seorang pegawai di sebuah perusahaan atau instansi dengan kehidupan yang serba mewah dan mencukupi semua kebutuhan nya, pertunjukan dan pertontonan itu berhasil merasuk ke dalam sel-sel otak para pemuda sekarang.

Apa lagi dengan fenomena sosial yang setiap tahun nya kita jumpai pada saat menjelang hari raya idul fitri, banyak para perantau yang berhasil bekerja di kota pulang dengan membawa segudang kemewahan yang semakin mengarahkan para pemuda kita untuk merantau ke kota demi mendapatkan pekerjaan (pelayan bagi kapitalisme) itu semua menandakan bahwa di desa sudah tidak ada lagi lahan untuk mendapatkan penghasilan, yang seharusnya desa merupakan kekuatan ekonomi yang terus dikembangkan.

Pelayan bagi kapitalisme, kapitalis telah masuk ke dalam rongga-rongga lembaga pendidikan kita, sistem dirancang sedemikian rupa untuk kepentingan para kapitalis dengan beralih-alih untuk ‘mencerdaskan’, padahal golnya para peserta didik agar menjadi pelayan bagi mereka.

Bersekolah hanya untuk mendapatkan ijazah untuk kerja, kuliah di Universitas ternama untuk mendapatkan gelar tertentu, lagi-lagi untuk bekerja. Sedangkan untuk mendapatkan pekerjaannya pun tidak mudah, dikarenakan persaingan yang ketat dan peluang kerja yang sangat sedikit, harus mempunyai keterampilan, kalau hanya sekedar mengandalkan gelar dan ijazah pasti ujung-ujungnya melanggengkan budaya ‘KKN’ yang terasa sudah mendarah daging bahkan mengurat nadi di negeri ini.

Padahal tidak sampai di sana, visi pendidikan kita. Seharusnya di sekolah atau di perguruan tinggi kita dididik untuk mempunyai moral yang baik, menumbuhkan kreatifitas dalam berinovasi, menanamkan budaya literasi, menghasilkan manusia yang tidak hanya mumpuni dalam konteks akademis, harus mumpuni juga dalam  bidang social sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang memanusiakan manusia. Bukan dicetak menjadi pelayan bagi kapitalisme.

 

Foto Ilustrasi : kamaldiegrosse.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar