Selasa, 28 Oktober 2014

Ketika Pemuda Menulis Sejarah

Opini-“Pemuda kita umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku dan tidak pernah diajarkan memimpin” (Sutan Sjahrir 1909-1966)


Barangkali rangkaian kata dari seorang Sjahrir diatas ada benarnya. Mau bukti? Coba lihat mereka  para pelajar yang sudah menjadwalkan satu hari dalam seminggu untuk tawuran. Entah apa yang dicari oleh mereka. Pengakuan lebih hebat, agar sekolahnya ditakuti atau sekedar mengikuti gaya dari para seniornya agar terlihat gaul? Yang jelas diantara jawaban diatas tak ada satupun yang bisa kita benarkan. Karena perang melawan penjajah sudah usai sejak 69 tahun lalu. Lantas mengapa mereka yang memiliki jiwa muda justru melampiaskan raga primanya untuk menciderai saudara sebangsa? Ini jelas kemunduran mental pemuda kita.


Coba kita buka sejarah hari ini di 86 tahun lalu. Saat mereka para pemuda pemudi dari nyaris seluruh pulau di nusantara berkumpul disebuah gedung dibilangan Kramat Raya Jakarta Pusat, mereka sama-sama berkomitmen menyatukan seluruh wilayah tanah air dan menyakralkanya dalam sebuah sumpah. Mereka para pemuda menegaskan cita-cita bahwa tanah air,bangsa dan bahasa Indonesia kelak lahir dan berdikari. Bahkan dalam momen sakral ini pula seorang wartawan muda berusia 25 tahun bernama Wage Rudolf Soepratman untuk pertama kalinya mendendangkan lagu Indonesia Raya dalam gesekan merdu biolanya yang akhirnya menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia.


Tidak hanya para pemuda dari kalangan pribumi saja. Mereka pemuda yang berasal dari keturunan arab pun melakukan ‘Sumpah Pemuda Keturunan Arab’ pada kongres Pemuda Arab Indonesia 4-5 Oktober 1934. Kongres berasal dari inisiatif seorang  AR. Baswedan yang mempertanyakan kewarganegaraan orang Indonesia keturunan Arab. Dari situ tercetuslah kongres Pemuda Arab Indonesia sampai berujung pada Sumpah Pemuda Arab Indonesia. Isinyapun  tak main-main. Mereka para keturunan arab yang kala itu dikastakan oleh Belanda lebih tinggi dari pribumi nyata-nyata bersumpah bahwa Indonesialah tanah airnya. Bahkan dalam butir ketiga sumpah pemuda arab indonesia disebutkan bahwa “Peranakan Arab memenuhi kewajibanya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia’.


Belum sampai disitu, kemerdekaan Republik Indonesia pun berkat campur tangan para pemuda. Ingat ketika Soekarno tengah dirundung kegalauan akibat penentuan tanggal kemerdekaan? Ketika itu Soekarno bersama Hatta dan golongaan tua lainya bersikukuh melaksanakan proklamasi setelah dapat persetujuan dari Jepang. Sedangkan mereka para golongan Muda yang dimotori Sjahrir juga para pemuka kemerdekaan lain seperti Sayuti Melik dan Adam Malik jelas-jelas menentang opsi gologan tua. Penolakan bukan tanpa alasan,ketika itu Indonesia tengah dalam kekosongan Pemerintahan. Ketika Jepang tengah babak belur dihajar bom oleh sekutu dan Belanda belum datang kembali untuk menerima penyerahan pemerintahan. Alhasil, mereka pemuda menculik dan mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Dan, 17 Agustus 1945 Indonesia Resmi merdeka. Entah, bagaimana jadinya kalau pemuda tak menculik Soekarno-Hatta? Barangkali penjajahan bisa jadi berjlanjut.


Terakhir, pemuda pula lewat para mahasiswanya yang berhasil menggolkan cita-cita demokrasi sekaligus menggulingkan rezim orde baru (Orba) pimpinan Presiden Soeharto. Entah berapa jumlah pasti mereka yang harus meregang nyawa demi untuk kebebasan berpendapat kita hari ini. bahkan, beberapa diantara mereka hingga detik ini masih belum diketahui keberadaanya.


Kejadian-kejadian prestisius diatas jelas besar campur tangan para pemuda, bayangkan bagaimana perasaan W.R Soeprartman, A.R Baswedan, Sutan Sjahrir dan seluruh pemuda yang merelakan jiwa raganya untuk kebebasan demokrasi melihat pemuda kini justru saling hantam, saling serang dan saling bunuh juga terkesan apatis terhadap persoalan bangsa hari ini. Sejarah bangsa yang digawangi pemuda dulu seakan tak pernah diresapi oleh pemuda saat ini.


Suka tidak suka, itulah kejadianya. Barangkali pemuda kini lebih suka menyaksikan siaran langsung pernikahan artis ketimbang siaran langsung pelantikan Presiden. Lebih terlihat gagah ketika ikut tawuran ketimbang menghentakan hormat dalam upacara bendera. Dan lebih terlihat gaul jika berlama lama di super market ketimbang berlama-lama disanggar tari tradisional.


Sadarkah kita para pemuda jika saat ini kita tengah menulis sejarah. Bukankah Soepratman, A.R Baswedan dan Sutan Sjahrir hidup dimassanya, melakukan sesuatu trobosan dan dikenang hingga saat ini. Kita pun sama, apa yang kita lakukan saat ini bisa jadi dikenang 100 tahun lagi oleh cicit-cicit kita. bahwa dalam buku sejarah 100 tahun lagi barangkali akan ada bab yang membahas bahwa 100 tahun lalu telah hidup sebuah generasi yang banyak menghilangkan warisan kebudayaan akibat terlalu seing berlama-lama di super market. Bahwa 100 tahun lalu telah hidup sebuah generasi yang menjadikan upacara bendera sebagai kegiatan yang menyebalkan. Dan masih di bab yang sama tertulis bahwa 100 tahun lalu telah hidup generasi apatis yang tak pernah peduli terhadap kondisi bangsanya dan membiarkanya tercerai berai.


Untungnya massa itu belum datang. Kita masih hidup di zaman sekarang. Jadi, saat ini kita masih memiliki waktu banyak untuk mencegah buku sejarah 100 tahun lagi menuliskan betapa bobroknya pemuda saat ini. Namun, itu semua kembali kepada pribadi kita, ingin dicap sebagai generasi apatis atau generasi penggerak bangsa dimasa mendatang?



Oleh: Muhamad Wildan (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unswagati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar