Senin, 13 Oktober 2014

Komitmen Pendidikan




Oleh : Bakhrul Amal

 

Ruang pendidikan bukanlah selubung awan hitam yang membusukan. Tapi untuk beberapa saat, masyarakat kita sengaja disodorkan nuansa seperti itu. Menjatuhkan yang satu, menghakimi tanpa koreksi. Akhirnya, kejatuhan dari dahaga untuk menghina sampai menunggu penyerahan seolah seperti sebuah kepuasan.

Ruang pendidikan sejatinya menguangkan argumentasi sebagai nilai tukar. Opini non teoritisi dan tak sesuai rasio logis tidak bisa dijadikan dalih kebenaran, apalagi bila jelas dendam kepentingan sebagai pemantiknya. Anehnya, manusia-manusia begini bisa berkelindengan bebas dengan parlente di ruang pendidikan. Pada manusia ini, eloknya pendidikan tidak akan pernah kita temukan.

Suatu saat, dengan tergopoh-gopoh, nabi naik ke atas mimbar dan membacakan patah-patah kalimatnya yang terakhir. Nabi berteriak dengan mata yang sayu “....seorang Arab tidak memiliki kelebihan diatas non-Arab, dan seorang non-Arab tidak memiliki kelebihan diatas Arab...... Ingatlah, suatu hari kamu akan berhadapan dengan ALLAH dan mempertanggungjawabkan tindakan-tindakanmu. Karena itu, berhati-hatilah, jangan keluar dari jalan kebenaran setelah aku tiada.” Suasana hening, pendidikan sesungguhnya tengah dimulai dari kesadaran akan kehilangan sosok yang begitu baik.

Sesaat kemudian, seluruh umatnya dibuat tenang. Bahwa seluruh perkataannya itu “aku telah menyampaikan pesanMU kepada hambaMU.” Nabi pun mengakhiri pesannya, masuk ke rumah, untuk lalu tak keluar kembali. Mu dengan M besar itu dia sisakan pada hati dan pikiran pendengarnya, Membenahi umat.

Pendidikan itu menerangi yang gelap, Nabi tidak sedikitpun mengutuk. Nabi menyatukan dirinya dengan umatnya dan memberikan pendidikan. Tentunya dengan fakta yang utuh, bukan asumsi yang di skenario untuk memfitnah atau meng-kecilkan yang lain.

KOMITMEN

Komitmen adalah menerabas batas dan melampaui yang tak terlampaui, komitmen menuntut pelaku-pelaku yang berani, yang tak takut disuarakan miring. Komitmen adalah menaruh apa yang sudah dari awal hendak memang ditaruh disitu, dia tidak terkecoh dan fokus.

Namun, dunia pendidikan saat ini telah penuh intrik. Mereka yang dendam datang kembali dengan wajah-wajah haus kuasa yang siap meringkus yang benar.

Perjuangan demi kemajuan dinihilkan untuk dikesankan tak ada. Jatuh bangun dan keinginan peningkatan, hangus dibakar oleh monopoli kejam api kekalahan. Budaya ini malah seperti mengkonsumsi narkoba, yang latah dan nagih. Perilaku kebodohan tersambut dengan tepuk tangan dan hiruk pikuk penuh sorak sorai. Miris.

PENDIDIKAN dan KEBAIKAN

Institusi pendidikan itu bukan sebuah opera yang semuanya telah disusun dalam naskah. Institusi pendidikan didirikan dengan dasar filosofi dan pandangan hidup yang teramat kuat. Kesakralannya terletak dari kemadanian masyarakat lingkungan. Harusnya, kuasa berita merawatnya dan tidak dibodoh-bodohi oleh nalar gerombolan emosional ‘yang tiran’ layaknya pendudukan kolonial.

Apa yang sudah diraih institusi pendidikan bukanlah untuk kebanggaan pribadi tetapi untuk bersama. Apabila kemudian ada segelintir yang datang dengan karung siasat pendzholiman, pendidikan dengan imunitasnya seharusnya membaca hal itu dan mengacuhkannya. Bila perlu jangan diberikan tempat untuk menempelkan bokongnya di gedung suci nan keramat penuh ilmu.

Gandhi dahulu adalah seorang pengacara, beralih menjadi pejuang kemanusiaan. Dengan susah payah, hantaman bertubi-tubi hingga cacian, dia tak goyah. Dia katakan pendidikan mengajarkannya agar komitmen demi kebaikan. Dia kuat.

Mahasiswa letaknya bukan di pinggir tetapi di depan. Mahasiswa bukan konsumen isu, bukan juga penikmat kesakitan, apalagi pengantar chatering dari seseorang yang menuntunnya kerdil. Jadinya, tidak membakar dan mendobrak sesuatu seperti kuda yang ditarik oleh delman dengan tali yang panjang. Kebenaran itu yogiyanya merasuk dalam nurani.

Faal hamaha fujuroha wa taqwaha, kejahatan dan kebaikan itu memang diilhamkan, dalam As-Syams. Mereka yang menelanjangi komitmen dan bersembunyi dibalik apa yang ditaburnya adalah penjahat. Dan institusi pendidikan dengan komitmennya adalah yang harusnya beruntung dengan jalan yang baik.

BELAJAR DARI “FIVE MINARETS IN NEW YORK”

Lalu sebenarnya, bagaimanakah awalnya yang baik itu dikesankan buruk untuk menaikan yang buruk?

Hatta, berdiri tegak dengan telaten memasarkan koperasi. Tan Malaka tak patah arang demi kemandirian Indonesia sebagai bangsa. Soekarno dengan semangat persatuannya, melupakan penjara dan pengasingan, dia bangkit mewujudkan Indonesia. Itulah komitmen.

Kebencian itu lahir daripada akibat kejayaan masa lalu yang hilang terkikis oleh zaman. Bagaikan bom waktu yang terus menerus menyetel kondisi dan siap sampai kapanpun diledakan.

Film Five Minarets in New York mengajarkan kita untuk menolak itu. Seorang anak muda bernama Fyrat, diberi pendidikan untuk memupuk benci oleh kakeknya. Dalam benaknya selalu terpenuhi keinginan membunuh Hadji Gm. Pikiran itu datang karena bercak-bercak pembosokan kakekanya bahwa Hadji GM telah membunuh ayahnya yang bernama Eren Smail. Padahal itu tidak benar.

Suatu ketika Fyrat akhirnya bertemu dan bertatap muka hingga bahkan melewati hidup bersama Hadji Gm. Darisitulah, kebenaran yang benar muncul. Meskipun kemudian Hadji Gm tetap terbunuh oleh kakeknya, namun komitmen kebaikan merubah pandangan nista Fyrat terhadap Hadji Gm. Diantara darah dan tangisan kematian, Fyrat bersaksi bahwa Hadji Gm adalah orang yang terbaik, pemberi pendidikan terindah, yang pernah ia temui.

Meskipun hal itu keliru, nampaknya pertarungan bak mengadu domba di hutan itu masih juga laku di pasaran.  Tidak sedikit pendahuluan kakek Fyrat itu diterima tanpa kunyah. Pada titik itulah komitmen pendidikan kita hilang dan remote penggerak robot kebencian berfungsi.

Sejatinya, giringan layaknya kakek Fyrat itu memang selalu meletup-letup. Namun, yang diposisikan sebagai Fyrat janganlah mudah bertransaksi tanpa dasar yang jelas, apalagi non teorisi.

Komitmen pendidikan adalah pengujian nyata di ruang kelas yang paling bebas di alam raya, yaitu ruang akademik. Dimana disitu manusia dipertaruhkan hanya atas dasar argumentasinya. Pertemuan dan pertaruhan isi kepala pmenjadi keutamaan. Jangan menjadi umpan yang menelan mentah keseolahan nampak dari yang lurus dan yang haus. Untuk itulah sebenarnya kita berdidik intelektual.

 

*Penulis adalah peneliti di Satjipto Rahardjo Institute

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar