Jumat, 23 September 2016

Opini: Bahaya Oportunisme

Oportunis itu bukan sikap, melainkan penyakit. Hal ini perlu kita sepakati terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembahasan yang lainnya.

Oportunisme dalam definisi merriam-webster adalah sebuah praktek mengambil keuntungan dengan mengesampingkan prinsip. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan oportunisme sebagai paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri, dari kesempatan yang ada, tanpa berpegang pada prinsip tertentu.

Dari definisi di atas, baik merriam-webster ataupun KBBI, keduanya merujuk pada satu kesimpulan, oportunisme adalah tindakan yang dilakukan tanpa prinsip. Belum selesai sampai disitu, tindakan tanpa prinsip a la oportunisme tersebut memiliki tujuan memupuk keuntungan pribadi.

SKEPTISISME dan OPORTUNISME

Oportunisme berbeda dengan skeptisisme. Skeptisisme tidak berada di wilayah manapun karena dasar ketidakadaanya pilihan yang cocok. Skeptisisme tidak berpihak karena mereka merasa bahwa segala hal itu tidak menjadi kepeduliannya lagi. Yang paling mencolok, skeptisisme adalah tindakan yang diambil karena prinsip, tanpa keraguan, dan tidak berorientasi pada keuntungan pribadi.

OPORTUNISME dan PERKEMBANGAN ZAMAN

Sebagai sebuah paham, oportunisme tentu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.

Di masa lalu sikap oportunisme itu dipergunakan agar terbebas dari ancaman hukuman penguasa. Penganut oportunisme selalu berbicara di depan rakyat sebagai pihak yang membenci penguasa. Pada keadaan yang lain, di depan penguasa, oportunis mengolok-olok tindakan rakyat yang tidak mau patuh pada penguasa.

Ambilah contoh tentang kisah Abdullah bin Saba’ yang berpura-pura masuk Islam di era khalifah Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’, dengan pengetahuannya akan kelemahan Utsman, kemudian melakukan pemberontakan terhadap Utsman. Perang besar pun tidak dapat terelakan, dan menurut riwayat itulah awal berdirinya Syiah.

Zaman kemudian bertumbuh. Manusia tidak lagi menjadikan kuasa sebagai simbol yang perlu diperhitungkan.

Semenjak munculnya era kapitalisme global dengan hiper-semiotikanya (dimana simbol dan definisi tidak lagi bisa dibedakan), manusia memiliki simbol kejayaan yang baru. Simbol kejayaan itu adalah apa yang disebutkan oleh Marx dengan nilai tukar.

Manusia oportunis kemudian memulai pola menyesuaikan tujuan yang berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Manusia oportunis melakukan segala cara agar memperoleh uang dari berbagai tempat meskipun hal tersebut berlawanan dengan prinsipnya.

OPORTUNISME MODERN

Manusia oportunis modern terbagi menjadi dua. Pertama kutu loncat. Kedua penunggang konflik.

Pertama, manusia oportunis modern cenderung berpindah-pindah tempat (kutu loncat). Hari ini dia bernaung untuk A karena A sedang memiliki posisi tawar yang tinggi. Hari selanjutnya, manusia oportunis modern, menghantam A karena A dinilai tidak lagi memberikannya keuntungan kapital atau jabatan. Tidak hanya itu, manusia oportunis modern bahkan rela memuji B yang dulu menjadi musuhnya ketika dia bersama A.

Kedua, manusia oportunis modern rajin membaca situasi. Manusia oportunis memanfaatkan konflik untuk melejitkan posisinya diantara pihak yang sedang bertikai. Manusia oportunis modern ini membaca kemungkinan diantara A dan B mana yang lebih menguntungkannya. Ketika analisa itu sudah dilakukan, manusia oportunis modern kemudian memilih salah satunya meskipun sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Manusia oportunis hanya memikirkan kesempatan dimana dia bisa memperoleh tenar atau pun juga keberlanjutan perutnya.

Contoh manusia oportunis modern dapat kita lihat dalam dinamika politik. Politisi partai A yang berpindah ke partai B. Atau pun juga, dalam kehidupan sehari-hari dimana ada individu yang berkata pada kelompok A “B itu begini begitu” namun diwaktu yang lain bertutur pada kelompka B “A ini bagaimana sih tidak ini tidak itu”.

Disesuaikan dengan analisa Stone dan Turkle menyoal Multiple Personality Disorder (MPD) yang melanggar ‘norma moral hukum standar’ –yang disebut pula oleh Zizek “tidak ada satu orang menjamin kesatuan subjek”– jadi  bisalah kita kategorikan oportunisme ini semacam penyakit kepribadian ganda. Hal itu dikarenekan dalam oportunisme tidak ada subjek tunggal, tidak ada prinsip, yang ada hanya dia dan dirinya yang lain ditubuhnya, yang bergerak untuk kepentingan pribadinya.

PENUTUP

 Sikap oportunisme ini perlu dibaca dengan cermat oleh kalangan profesional. Tidak ada gunanya memilihara seorang oportunis. Oportunis hanya akan melontarkan kita pada titik tertinggi di waktu yang mereka kehendaki, dan kemudian menjungkalkan kita ketika tidak mampu lagi diharapkan olehnya. Tidak ada loyalitas terhadap pemikiran atau ideologi dalam oprtunisme. Oportunisme loyal hanya pada keuntungan pribadinya.

 

Oleh Bakhrul Amal, Penulis adalah Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar