Selasa, 10 Januari 2017

Jangan Ditinggalkan, Literasi Bagian Dari Suasana Kampus!

Opini, Setaranews.com - Sedikit celoteh jika itu memang bebas dikumandangkan, walaupun pada dasarnya penulis ataupun anda tidak memiliki kebebasan yang absolut, namun kegelisahan sangat tidak enak untuk ditahan dan dipendam. Penulis mencoba mengutarakan apa yang penulis lihat dan dengar, selebihnya itu pengalaman yang penulis lalui. Benar salahnya, mari kita berdialektika, karena dari sudut pandang penulis dan anda akan banyak perbedaan.

Melihat kondisi kampus sekarang, khususnya di habitat Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang merupakan wahana pendidikan tinggi juga merupakan jenjang pendidikan tertinggi untuk membina dan membentuk kader-kader manusia yang mandiri dan produktif, untuk selanjutnya mengaplikasikan kemampuan dirinya di masyarakat. Dalam promosinya, kegiatan kampus menjadi daya tarik dan sekaligus menjadi proses peningkatan kualitas diri setiap pelakunya.

Ada beberapa kondisi yang menjadi perhatian penulis, di mana proses kegiatan belajar mengajar yang terkesan monoton, membentuk budaya baru apatisme dan kutu gadget, di mana civitas akademika berjalan masing-masing sesuai dengan sekedar tugasnya.

Kecenderungan dalam penerapan metode yang digunakan beberapa dosen belum se-efektif yang diharapkan sehingga belum menunjang perkembangan mahasiswa. Komunikasi searah di mana dosen menerangkan dan mahasiswa menerima, lalu tidak ada feedbeck atau kesempatan membela diri bagi kalangan yang lamban dalam menangkap materi. Sedangkan, sistemnya tidak bisa di tolelir, yang dibuktikan dengan ujian di kertas satu lembar. Perbedaan peran antara dosen sebagai pengajar dan mahasiswa yang diajar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi malah menjadi sekat dalam menghidupkan suasana yang harmonis dan dinamis. Di mana budaya literasi di luar kelas sudah jarang terjadi, sedangkan kegiatan belajar mengajar hanya diberikan berdasarkan SKS yang terbatas, dan fokus pada disiplin ilmu yang digelutinya.

Kemudian, kalangan intelektual yang mengemban peran penting tri dharma perguruan tinggi yang diiringi dengan kurikulum menjadi perhatian khusus yang kiranya perlu kita renungkan. Pergeseran proses KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang merupakan salah-satu bentuk impelementasi tri dharma perguruan tinggi hanya menjadi agenda tahunan, namun esensinya sangat belum tercapai.

Kondisi tersebut penulis pikir bukan jaminan setelah lulus bisa siap berbaur dan melebur dalam dinamika masyarakat. Kalangan middle class cendikiawan, katanya, penulis pikir perlu kerja keras lagi dalam menempa dirinya untuk bisa berada di tengah persoalan masyarakat sekaligus bisa menyelesaikan permasalahannya. Hal itu tentunya perlu didukung oleh lingkungan kampus yang mampu menempatkan kedudukannya sebagai laboratorium untuk berekspresi dan berkarya.

Peran penting perguruan tinggi harus kembali pada tujuan awalnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa atau dalam bahasa lain, proses pendidikan tinggi akan berdampak pada kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Jika menurut Paulo Freire, pendidikan bertujuan untuk pembebasan, atau menurut Soedjatmoko pada tegurannya kepada pelaku yang mendapatkan kesempatan di bangku kuliah seharusnya menggunakan pengetahuannya untuk membantu menyelesaikan persoalan bangsa ini. Tak kalah penting pesan dari Kihajar Dewantara, setiap orang memposisikan dirinya sebagai insan yang berguna untuk orang lain.

Civitas akademika harus mampu menciptakan kondisi kampus yang mampu mewujudkan tujuan pendidikan sebagai bentuk eksistensi terhadap pengabdiannya, terintegrasinya wadah-wadah fungsional, diikuti oleh kesadaran mahasiswa akan perannya. Serta mahasiswa juga dosen sebagai pelaku pendidikan itu sendiri untuk sama-sama berdiskusi dalam ruang yang tidak terbatas sebagai kegiatan untuk menambah kapasitas ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itu menjadi objek percobaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar