Senin, 02 Januari 2017

Opini: Membenarkan Pikiran Kita

Opini, Setaranews.com - Pikiran dan perilaku kita, kata bijak bestari, terpengaruh oleh dua hal. Pertama adalah dengan siapa kita bergaul. Yang kedua mengenai buku apa yang kita baca.

Persoalan pertama tentu menyangkut begitu banyak aspek. Ada aspek pendikikan, ekonomi, bahkan juga strata sosial. Pergaulan yang terbatas tentunya akan mempengaruhi komunikasi, cara berpikir, dan cara menyelesaikan masalah. Sementara pergaulan yang luas, output yang dihasilkan adalah sebaliknya.

Pergaulan, dewasa ini, tidak tidak hanya dinilai dari lingkungan dimana kita tinggal, atau pun juga sekedar pada kawasan dimana kita bersekolah. Di era global ini, pergaulan juga dapat dipengaruhi oleh dunia maya, dunia internet yang konektivitasnya bahkan menjangkau dunia yang tak terjamah.

Tulisan ini akan mencoba membahas pengaruh pada pergaulan yang global, atau pergaulan internet. Hal ini dinilai penting karena hampir dari seluruh kegiatan kita saat ini, 70% nya dipengaruhi oleh pergaulan dunia maya. Dan parahnya, ternyata justru pergaulan yang dinilai modern tersebut yang membawa kita menuju kearah kesempitan berpikir serta ke kehidupan yang individualistis.

SISI NEGATIF PERGAULAN GLOBAL

Seorang filsuf kenamaan asal Slovenia, Slavoj Zizek dalam Is this digital democracy, or a new tyranny of cyberspace?, menyebut bahwa ada banyak penipuan dalam dunia maya. Hilangnya sifat kritis a la Marxis membuat siapa saja bisa merasa seolah setara dalam dunia maya. Singkatnya, dalam dunia maya, segalanya menyoal kekayaan, posisi sosial, kekuasaan atau kurang lebih itu, seperti terhapuskan.

Dunia maya berjalan seperti layaknya dunia biasa. Bedanya, dunia maya tidak dibangun dengan budaya dan tidak diatur oleh sistem sosial yang berlaku. Murid SD bisa berkomentar di kolom yang peruntukannya bagi dewasa. Ahli agama tanpa tedeng aling-aling berbusa-busa bicara hukum bahkan lebih nyaring dari Profesor hukum. Dan masih banyak lagi. Inilah kekacauan tipuan kesetaraan dalam dunia maya tersebut.

Selain tipuan kesataraan, Zizek juga menilai, ada banyak tipuan jati diri. Zizek mendefinisikan interface sebagai sebuah hubungan saya dengan yang lain tidak pernah tatap muka dan hanya sebatas dimediasi oleh mesin digital. Zizek bahkan merasa tidak pernah bisa yakin siapa mereka (kawan komunikasinya dalam dunia internet): mereka benar-benar memiliki cara menggambarkan diri mereka, apakah bahkan ada orang yang "nyata" di balik persona layar,  dunia maya hanya untuk multiplisitas orang.

Yang jahat berpenampilan seolah baik. Yang pemalu membuat citra seolah berani. Penyalahgunaannya kemudian, karena sadar bahwa dunia maya hanya permainan, seringkali muncul banyak informasi yang tersebar bebas tanpa tujuan yang jelas. Akhirnya, kejahatan menjadi lebih mulus dilancarkan. Informasi dengan tujuan adu domba, fitnah, dan opini sesat yang tak sempat dikritisi atau ditindaklanjuti seolah adalah kebenaran.

Zizek menyarankan untuk lebih hati-hati dalam menggunakan dunia maya. Zizek, dengan basis keilmuan psikoanalisis, menggambarkan bahwa “anda” bisa kehilangan “anda yang asli” dalam seperhitungan detik dan mengubah “anda” menjadi “diri yang lain”.

MULAILAH MEMBACA

Persoalan kedua adalah mengenai membaca buku. Dunia maya tentu memiliki sisi positif, meskipun sisi negatifnya tidak sedikit. Untuk menjaga nalar kritis kita tentu yang paling mungkin ditaruh harapan adalah buku.

Kita bisa mencermati gagasan tersebut dalam film Detachment yang dibintangi Adrien Brody. Brody, yang pada saat itu berperan sebagai guru, menjelaskan mengenai assimilate (percampuran budaya) dan ubiquitous (eksis dimanapun, dan dalam waktu yang sama). Pada dunia maya kedua hal itu benar-benar terjadi dan apabila tidak diimbangi maka akan merusak.

Brody, atau dalam film tersebut menjadi Henry Barthes, memotivasi muridnya untuk keluar dari ketidaksadaran. Dia mengajak untuk membaca buku dan memenuhi perpustakaan. Buku, atau lebih tepatnya kerajinan membaca,  baginya adalah benteng pertahanan terakhir. Dia ingin imajinasi kita muncul membangunkan hal-hal kritis untuk kemudian mengoreksi segala yang kita anggap selesai, utamanya yang kita yakini dalam pergaulan global via internet.

Brody tidak secara detail menjelaskan buku apa yang mesti kita baca. Intinya membaca referensi lain di luar yang ditawarkan. Dia, dalam film itu, hanya menyebut satu buku, yakni Novel George Orwell yang masyhur dengan judul 1984.

PENUTUP

Dari penjelasan di atas, kiranya kita bisa lebih dewasa dan bijak dalam menanggapi persoalan yang saat ini tengah menggempur kehidupan sosial kita. Kita tidak bisa menghindari dunia maya, tetapi kita bisa meminimalisir efek buruknya. Kita perlu mengoreksi banyak hal. Kita perlu teliti dalam memisahkan antara keshahihan dan kebenaran. Kembalilah membenarkan pikiran kita dengan membaca.

 

Oleh Bakhrul Amal, penulis adalah Dosen Ilmu Hukum UNUSIA Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar