Rabu, 18 Januari 2017

Opini: Bicara 'Sastra' Sebagai Kritik Sosial

Opini, Setaranews.com – Apa yang membuat sebuah karya sastra bertahan puluhan hingga ratusan tahun? Jawabannya adalah sebuah karya sastra yang mampu menggambarkan realita sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Karena pada dasarnya, permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat tidak pernah berubah. Berkutat seputar ketimpangan, ketidakadilan dan lain sebagainya. Karena kaitan sastra dan realita sosial yang terjadi cukup erat, maka sastra pun bisa dijadikan sebagai kritik sosial. Seiring tentunya hal tersebut diharapkan mampu membawa berubahan ke arah yang lebih baik.

Kata sastra diadaptasi dari bahasa sansekerta yang memiliki makna teks yang mengandung intruksi. Intruksi disini bisa bermakna sebagai ajaran dan karya sastra mempunyai dua bentuk yakni fiksi dan non-fiksi, bisa puisi, prosa, novel, drama, biografi, esai dan lain sebagainya. Bicara tentang sastra sebenarnya mencakup banyak aspek seperti seni, budaya dan sosial. Maka tidak heran apabila kandungan di dalam karya sastra sangatlah kaya dengan berbagai macam pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca.

Karya sastra tercipta dari berbagai macam latar belakang yang dipengaruhi oleh pengalaman penulis dan disesuaikan dengan kondisi zamannya. Semisalnya saja novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo yang diterbitkan pada tahun 1918—rentang tahun yang cukup lebar sebelum Indonesia merdeka. Memakai gaya bahasa yang sederhana, Marco menitipkan pesan yang amat luas agar masyarakat Indonesia bisa meraih kemerdekaan dan kedudukan sosial dari penjajah. Atau pada era reformasi, Wiji Thukul lewat puisi-puisinya yang menggugah, mengkritisi rezim Soeharto yang dianggap menyengsarakan Rakyat Indonesia.

Dari kedua contoh tersebut, bisa diasumsikan bahwa karya sastra adalah refleksi atau cerminan dari realita sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Jadi, sangatlah dangkal apabila seseorang memiliki persepsi bahwa karya sastra seolah-olah hanya lahir dari kesunyian dan lamunan. Terdapat proses yang panjang sebelum sebuah karya sastra dihasilkan, dan seorang penulis butuh bersentuhan langsung untuk melihat dan merasakan realita sosial yang terjadi di dalam masyarakat, dan lalu menuangkannya ke dalam tulisan.

Di era-modern, media berkembang dengan sangat pesat—cetak ataupun online. Keduanya bisa dengan mudah menampung berbagai kreatifitas tulisan dari banyak orang untuk dipublikasikan. Tapi sekarang fenomena yang terjadi, cukup sulit menemukan karya sastra yang bisa kembali merefleksikan kondisi sosial yang terjadi. Penulis mainstream lebih senang mengikuti selera pasar yang arahnya lebih condong ke roman picisan. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa seorang penulis menghasilkan sebuah karya semata-mata hanya untuk eksistensi dan keuntungan dirinya sendiri. Tidak dibarengi dengan kepekaan terhadap kondisi sosial yang terjadi dan kesadaran untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Padahal, penulis-penulis besar yang karya-karyanya abadi berawal dari sana, seperti Buya Hamka, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar dan lain sebagainya.

Novel dengan nuansa percintaan seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck milik Buya Hamka atau Hujan Bulan Juni milik Sapardi Djoko Damono saja masih dengan lihai menyisipkan permasalahan sosial di dalamnya. Keduanya mengangkat permasalahan yang hampir sama yaitu tentang perbedaan ras, budaya, adat, tradisi hingga agama. Realita sosial yang disuguhkan Hamka dan Sapardi di atas, hingga sekarang pun masih menjadi sesuatu yang sensitif ketika diperdebatkan di dalam masyarakat Indonesia. Sekaligus membuktikan bahwa karya sastra dengan nuansa percintaan bisa dikemas sedemikian rupa dengan nilai-nilai sosial di dalamnya.

Sebenarnya sah-sah saja. Toh, tidak ada aturan terikat bagaimana cara menghasilkan sebuah karya sastra. Apapun ide yang ingin dituangkan, menulislah. Tapi, bukankah sastra yang berhasil ialah yang mampu mempengaruhi pembaca, sementara sastra yang baik ialah yang mampu membawa perubahan ke dalam masyarakat? Karena sebenarnya esensi karya sastra sangatlah besar, karya sastra dianggap sebagai tanggungjawab sosial yang diharapkan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik di dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar