Kamis, 12 Januari 2017

Opini: Mengkritisi Penguasa Kampus

Opini, Setaranews.com - Di jaman yang sudah tertumpuknya berbagai macam masalah, kejadian yang berangkat dari ketidakbernalaran, penindasan, sehingga berdampak terjadinya dehumanisasi. Degradasi kesadaran seakan mengikis sikap kritis serta sikap skeptis terhadap sesuatu. Manusia tidak hanya bereaksi dengan cara refleks layaknya binatang, tapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya kembali sebelum melakukan tindakan. Ketika manusia menelan bulat-bulat apa yang didapatnya tanpa adanya proses dialek yang dinamis maka subjek tersebut hanya membuat alam ini sesak dengan keberadaannya.

Manusia bukan makhluk pasif, manusia dianugerahi kemampuan yang bisa merefleksikan semua kejadian (mengkaji) sebelum melakukan tindakan dan manusia dibekali kebebasan yang tentu tidak merenggut kebebasan orang lain. Semua dilakukan di dalam kerangka memanusiakan manusia. Manusia ditempa sesuai latar belakang dan lingkungan serta proses pendidikannya.

Paulo Freire mengutarakan bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan, murid bukan bejana-bejana untuk menampung semua yang dikatakan pengajar. Dari pernyataan di atas kita sama-sama sadar dan mengamini kejadian tersebut masih berlangsung di sekitar kita. Pendidikan hanya rutinitas agar kita terlihat sama dengan yang lainnya karena pada dasarnya manusia tidak ingin terlihat berbeda.

Rutinitas yang dimaksud adalah proses pengisian bejana-bejana, mahasiswa diibaratkan sebagai bejana yang diisi oleh dosen. Ketika bejana terisi penuh oleh ‘air’ dari dosen dengan demikian mahasiswa menjiplak dari dosen, penulis menilai bahwa walaupun terjadi dialektika dalam proses transformasi ilmu pengetahuan, itu hanya sebatas dialektika semu karena kompetensi yang dihasilkan sama, tidak beranjak untuk mencari kebenaran lain.

Kalau di atas menulis tentang esensi dari kondisi ideal pendidikan, pertanyaannya bagaimana kita akan fokus terhadap akademis jika lembaga pendidikannya selalu bermasalah? kampus kita tercinta (katanya, semoga cintanya tak membutakan) banyak sekali hal-hal dalam pelayanan yang sangat kurang, sebagai contoh kecil adalah ribetnya mengakses informasi tentang kuliah, sarana prasarana dan tetek bengek lainnya.

Bagaimana kita sebagai insan akademika akan memikirkan hal yang lebih penting ketika hal remeh seperti itu saja masih saja menghambat? Sebenarnya masih banyak lagi yang mau penulis ungkap tentang kritik ini, tapi penulis lebih tertarik mengkaji akar dari permasalahan tersebut.

Ketika penyelenggara pendidikan menyamakan bahwa pendidikan adalah barang jual, serta mahasiswa adalah konsumen, sehingga mereka menekan biaya produksi untuk meraih keuntungan yang besar. Berarti semua sudah berada diambang ketidaknormalan. Jelas tercantum dalam tujuan berdirinya negara ini  yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa bukan meraup untung sebesar-besarnya.  Karena kalau ditilik dari permasalahan kampus ini, penulis berasumsi poros permasalahannya ada dikurangnya sumber dana untuk menunjang kegiatan perkuliahan. Jika penyataan penulis salah, wajar saja karena penulis tak mengetahui karena tak adanya transparansi yang digagas oleh pihak pengelola ke mahasiswa.

Tiap pergantian tahun akademik biaya masuk terus melonjak tapi keadaan masih sama, tak ada perubahan, yang mengeluh tetap mengeluh, yang untung tetap untung.

Manusia adalah makhluk yang berelasi dan disetiap relasi (apapun) selalu ada yang namanya kekuasaan. Kekuasaan adalah hal yang bisa mempengaruhi segala sesuatu, bisa menembus moral, ketidakbernalaran, kegilaan dan sebaliknya kekuasaan juga bisa menciptakan kondisi yang adil. Seolah-olah kekuasaan dipengaruhi oleh subjek yang mendudukinya, tapi sebenarnya kekuasaanlah yang mempengaruhi subjek, jika dibenturkan oleh permasalahan kampus kita, kekuasaanlah yang mempengaruhi kondisi saat ini.

Hal terbaik yang saat ini harus dilakukan adalah menjalankan fungsi sesuai koridor dan perannya masing-masing, mahasiswa dengan sikap kritisnya dan penguasa dengan sikap kebijaksanaannya serta tidak menggunakan logika bisnis. Bersatu dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam bingkai humanisme yang tidak adanya penghisapan dan penindasan didalamnya.

Penulis: Reja Fauzi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar